Tanah Arab dengan kuliner berbumbu kuat dan daging kambing atau unta sebagai bahan utama. Namun, satu jenis hewan yang hampir tidak pernah tertemukan dalam budaya makanan Arab adalah babi. Mengapa demikian? Apakah ini semata-mata karena alasan agama, atau ada akar sejarah yang lebih dalam?
Babi dalam Sejarah Kuno Timur Tengah
Sebelum larangan agama muncul, sebenarnya babi sudah di berbagai wilayah Timur Tengah, termasuk Mesopotamia dan wilayah sekitar Levant (Suriah, Palestina, dan Yordania). Bangsa Sumeria dan Babilonia memelihara babi untuk dikonsumsi, karena mereka tumbuh cepat dan mudah berkembang biak.
Namun, tidak demikian halnya di bagian selatan Jazirah Arab, khususnya daerah yang sekarang dikenal sebagai Arab Saudi. Lingkungan yang keras, panas, dan kering tidak mendukung kehidupan babi yang memerlukan air dan naungan yang cukup.
Kondisi Alam yang Tidak Ramah untuk Babi
Salah satu alasan utama mengapa babi tidak menjadi bagian dari kehidupan di Tanah Arab adalah kondisi geografis dan iklim. Babi adalah hewan omnivora yang membutuhkan banyak air dan makanan organik yang berlimpah—hal yang sulit ditemukan di padang pasir kering dan gersang.
Sebaliknya, hewan seperti unta dan kambing jauh lebih cocok untuk ekosistem padang pasir. Mereka bisa bertahan dengan sedikit air dan makanan yang keras, membuat mereka lebih ideal untuk dibudidayakan.
Peran Agama dalam Menegaskan Larangan
Dengan datangnya agama-agama samawi—Yahudi, Kristen, dan kemudian Islam—larangan konsumsi babi semakin terperkuat. Dalam hukum Yahudi (Kashrut) dan hukum Islam (Syariat), babi teranggap najis dan haram untuk dikonsumsi.
Al-Qur’an secara eksplisit melarang konsumsi daging babi dalam beberapa ayat, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 173. Larangan ini tidak hanya bersifat spiritual, tapi juga menegaskan identitas kultural dan religius masyarakat Arab-Muslim yang berbeda dari peradaban lain.
Faktor Sosial dan Budaya
Di luar agama, larangan makan babi juga menjadi simbol pemisahan identitas. Dalam masyarakat kuno yang sering bersinggungan dengan komunitas lain seperti Romawi atau Persia yang mengonsumsi babi, larangan ini berfungsi sebagai bentuk penegasan identitas budaya yang berbeda.
Lambat laun, babi menjadi simbol ketidaksucian bukan hanya dalam agama, tapi juga dalam struktur sosial masyarakat Arab.
Dampak Jangka Panjang: Budaya Kuliner Tanpa Babi
Akibat dari sejarah panjang, kondisi alam, dan larangan agama tersebut, masyarakat Arab membangun budaya kuliner yang sepenuhnya mengesampingkan babi. Ini menghasilkan ragam masakan khas seperti kebuli, mandi, dan kabsa yang berbasis daging kambing atau ayam.
Lebih dari Sekadar Larangan Agama
Ditinggalkannya babi di Tanah Arab bukan hanya soal perintah agama, tetapi juga hasil dari faktor lingkungan, sejarah, dan sosial-budaya yang saling memengaruhi. Larangan ini kemudian diperkuat dan diwariskan secara turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Arab hingga hari ini.